Ilustrasi Sederhana Posisi JK dan Sri Mulyani di Kasus Century


Ini sebuah ilustrasi sederhana, untuk mengkonstruksikan kira-kira dimana posisi JK dan Sri Mulyani, ketika mesin uang bergerak untuk melakukan talangan pada Bank Century.

Anggap saja sebuah perusahaan. JK, saat itu adalah Direktur Utama PT Indonesia Raya. Sementara, Sri Mulyani adalah Manajer Keuangan. Presiden adalah Komisaris Utama, yang sedang tidak berada di kantor karena urusan eksternal.
Nah, salah satu divisi sedang bermasalah dengan rekanan. Namanya Bank Century. Rawan, karena ada kepentingan perusahaan yang menyangkut cash-flow dan kepercayaan klien serta bisa berimbas pada rekanan lain.
Lalu, masalah ini disampaikan pada Manajer Keuangan. Lazimnya orang Keuangan, dasar berpikirnya selalu berpijak pada cash-flow dan neraca perusahaan. Kira-kira, bunyinya begini: kalau ditutup, maka uang perusahaan yang sudah diinvestasikan, tidak bisa ditarik. Yang repot, kalau sampai penutupan itu akan mengganggu klien dan rekanan lain.
Maka, Manajer Keuangan ambil keputusan. Memerintahkan kepada juru bayar untuk melakukan talangan. Niatannya agar rekanan yang bermasalah ini bisa tetap beroperasi dan klien tetap aman.
Yang terjadi, dana talangan yang dibayar membengkak. Direktur Utama tahu. Langsung ambil inisiatif, si rekanan ditangkap dan ditahan.
Selanjutnya, masalah ini dibawa ke RUPS. Ada komisaris independen, yaitu DPR yang melihat bahwa masalah ini harus diusut. Sebab, ada uang perusahaan yang digunakan oleh rekanan. Maka, dibentuklah Pansus.
Direktur Utama menilai bahwa Manajer Keuangan telah tertipu oleh rekanan. Apa yang dikhawatirkan akan terjadi pada klien, sebenarnya akal-akalan rekanan saja untuk dapat menarik uang perusahaan.
Manajer Keuangan berkilah, tak ada uang perusahaan yang hilang. Toh, perusahaan milik rekanan itu sudah diambil-alih dan sudah beroperasi. Selain itu, masalah dengan klien sudah bisa dicegah.
Tapi, ini tidak bisa diterima oleh Komisaris Independen. Sebab, sudah ada uang perusahaan yang keluar. Kemana uang itu? Meski perusahaan rekanan sudah diambil-alih, dan kalau kemudian uang perusahaan kembali dari hasil usaha perusahaan rekanan itu, bukan berarti masalah selesai. Ini menyangkut kredibilitas pimpinan perusahaan.
Selain itu, ada keputusan yang sudah dikeluarkan, tapi realitas yang terjadi tidak seperti yang diputuskan. Artinya, ada modus untuk membuat uang perusahaan keluar dalam jumlah yang tidak diketahui oleh Manajer Keuangan sebagai pemegang otorita keuangan perusahaan.
Jadi, kalau kemudian JK mengatakan Menkeu tertipu, bisa saja benar. Tapi, sebagai Direktur Utama, apakah beliau tidak tertipu juga dengan pemilik perusahaan rekanan yang bernama Robert Tantular.
Memang, Robert sudah dibui atas perintah Direktur Utama PT Indonesia Raya saat itu. Tapi, coba lihat hasil kerjanya Robert Tantular:

1. Dia berhasil mendapatkan uang Rp 6,7 Triliun, yang mengalir begitu saja dari hasil keputusan orang-orang ahli moneter dan perbankan yang terbaik dan kredibel di republik ini.

2. Dia berhasil membuat aliran ini seolah-olah masuk ke orang-orang penting. Sehingga, ketika kasus ini terungkap, seolah-olah uang itu disalurkan pada orang-orang penting itu. Jadinya, publik tidak lagi memikirkan uang itu, tapi lebih berpikir pada siapa penerima uang itu, yang bisa saja cuma bikinan Robert Tantular.

3. Dia juga berhasil membuat Komisaris, Direktur Utama, Manajer Keuangan di republik ini saling hantam. Jadi, sambil nunggu keputusan hukuman penjara selesai, Robert bisa menyaksikan pertunjukan bagus, yaitu perseteruan yang sangat riuh di antara jajaran pimpinan PT Indonesia Raya.
Kalau perusahaan bubar, Robert bisa lebih untung lagi: masa hukumannya bisa dikurangi atau dia bisa kabur kemana dia mau, toh masih ada Rp 6,7 Triliun yang masih belum diketahui dimana keberadaannya.

4. Jadi, siapa yang tertipu: JK, Sri Mulyani, atau kita semua? [inilah]

0 komentar:

Posting Komentar